Latimojong adalah gunung tertinggi di Sulawesi Selatan, yang memiliki tujuh puncak, dengan puncak tertinggi Rante Mario dan ketinggian 3.680 meter di atas permukaan laut. Membentang dari selatan ke utara, Latimojong sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Enrekang, sebelah utara dengan Kabupaten Tana Toraja, sebelah selatan dengan Kabupaten Sidrap, dan sebelah timur dengan Luwu sampai pinggir pantai Teluk Bone.
Pendakian ke puncak Latimojong itu kami mulai pada 14 Agustus 2007.
Dari truk yang melaju di jalan beraspal, terlihat pemandangan rumah
panggung berjejer. Hasil pertanian, seperti kopi, dijemur di halaman.
Rumah-rumah itu dibatasi oleh kebun salak. Kabupaten Enrekang memang
terkenal sebagai salah satu daerah penghasil salak di Sulawesi Selatan.

Setelah lebih dari tiga jam terguncang-guncang di atas truk, kami pun
tiba di Rante Lemo, desa terakhir yang dapat dilalui kendaraan roda
empat. Waktu menunjukkan pukul 14.15 Wita. Perjalanan dilanjutkan dengan
berjalan kaki melalui jalan setapak.

Tak terasa jarak 10 kilometer kami tempuh selama dua jam berjalan
kaki dan sampailah kami di Dusun Karangan, Desa Latimojong, Kecamatan
Buntu Batu, Enrekang. Inilah dusun terakhir sebelum mendaki Gunung
Latimojong. Hari sudah gelap, kami menginap semalam di rumah kepala
dusun.
Walau terpencil, penduduk dusun itu dapat menikmati penerangan
listrik. Namun, bukan dari PLN. Secara swadaya masyarakat memanfaatkan
aliran sungai dan memasang kincir air yang menghasilkan daya, kemudian
dialirkan ke rumah-rumah warga.
Esok paginya, pendakian dimulai. Dengan memanggul ransel
masing-masing, kami berjalan melalui jalan setapak meninggalkan Dusun
Karangan menuju puncak Latimojong.
Belum jauh dari dusun, terhampar pemandangan pohon-pohon kopi di sisi
kiri dan kanan jalan setapak, dengan buah merah mencolok. Tampak pula
karung yang berisi biji-biji kopi yang baru dipanen.
Medan makin menanjak. Meski belum berjalan terlalu jauh, napas sudah
tidak beraturan. Sebelum tiba di Buntu Kacillin, sebutan untuk Pos I,
perjalanan harus menyeberangi dua sungai dengan meniti beberapa batang
pohon yang melintang di atas sungai. Kemudian kami melalui beberapa
lahan yang baru dibuka oleh warga untuk perkebunan kopi.
Dari sana, jauh di bawah, tampak indahnya pemandangan yang hijau, dan dari kejauhan tampak desa-desa permukiman warga setempat.

Di hutan ini terdapat banyak pohon rotan. Para pemandu menyarankan
untuk membuat gelang dari rotan. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat, mengenakan gelang rotan bisa terlindung dari gangguan “para
penunggu”. Gelang rotan ini juga merupakan simbol bahwa kita bertamu
secara baik dan diterima warga setempat. Konon, gelang rotan ini adalah
simbol leluhur warga setempat, yakni Nenek Janggok Riri, bersama
istrinya, Nenek Menga.

Menuju Sarungpa’pa–sebutan untuk Pos II–jalan tidak selalu mendaki.
Semakin dekat menuju Pos II, jalan menurun dan licin karena lembap.
Sarungpa’pa berada di pinggir sungai. Tidak begitu luas, hanya berupa
bongkahan batu besar yang agak lapang dan gua batu terbuka. Namun,
tempat ini menjadi salah satu pilihan bagi pendaki untuk beristirahat,
bahkan menginap karena dekat dengan sumber air.
Medan berikutnya menuju To’nase (Pos III) sangat sulit walau jarak
tempuhnya pendek. Tebing dengan rata-rata kemiringan 70-85 derajat,
belum lagi kondisi tanah yang licin, mengharuskan kami untuk
memanjatnya. Namun, di sinilah etape perjalanan paling seru meski sangat
berbahaya.
Melintasi etape itu, beberapa orang terpaksa ditarik dengan
menggunakan tali. “Meski berbahaya, saya sangat suka karena menantang,”
kata Mang Kus dari Karpala Kalfa.

Saya sempat drop ketika rasa lelah, lapar, dan dingin menusuk. Dengan
bantuan sekaleng susu dan istirahat sejenak, akhirnya saya dapat
melanjutkan pendakian meski dengan ritme lambat dan lebih sering
berhenti.

Akhirnya sampailah kami di Soloh Tama (Pos V) sekitar pukul 20.30
Wita, tempat kami menginap malam itu di tengah sergapan rasa dingin,
meski saya telah memanaskan tubuh di pinggir kobaran api. Di sekitar
tempat itu ada sebuah sungai, yang untuk mencapainya harus melewati
medan yang terjal dan licin.

Kondisi hutan di ketinggian sekitar 3.000 meter dpl terasa lembap.
Batang-batang pohon di sekeliling kami ditutupi lumut. Sementara itu, di
Buntu Lebu (Pos VII) terdapat bukit-bukit batu dan pohon-pohon kerdil,
tempat kami beristirahat setelah mendirikan tenda di tepi sungai kecil.
Perjuangan mencapai puncak Rante Mario akhirnya tercapai setelah
mendaki tebing, melalui bukit-bukit batu dan hutan berpohon kerdil. Kami
pun langsung menuju titik triangulasi di ketinggian 3.680 meter dpl.
Segala kelelahan terbayar seketika saat melihat pemandangan yang
indah, kala matahari beranjak ke arah barat, dengan berkas warna kuning
keemasan menerpa awan putih.
No comments:
Post a Comment