Wednesday, May 1, 2013

Gunung lompo battang

ASAL MULA GUNUNG LOMPO BATTANG

Erang, bocah lelaki berumur 7 tahun, seperti dipaku pada tempatnya berdiri. Rambut halus ditengkuknya meremang. Keringatnya mengucur deras. Tepat didepan matanya. Peristiwa mengerikan terjadi kurang dari selompatan kaki orang dewasa dari tempatnya berdiri. Sosok raksasa setinggi seratus langkah mendengus lencang. Nafas yang keluar dari hidungnya menggoyangkan semak belukar dimana Erang bersembunyi. Mulut raksasa itu mengecap-ngecap. Ia baru saja menelan ibu bapak Erang sekaligus.
Purnama hari keempat belas. Dibelahan dunia yang lain sedang bersuka cita memandang keindahan bulan. Tapi disini, disebuah desa tempat keluarga Erang bermukim, purnama sepuluh tahun sekali adalah pertanda malapetaka. Raksasa kejam yang berdiam dihutan menjadikannya jadwal berburu manusia di desa Erang.
Erang tak kuasa menahan tangis. Kesedihannya tak tertanggungkan lagi. Ibu bapaknya, belahan jiwanya, telah pergi meninggalkan dirinya. Erang memandang pilu kearah rumahnya. Kondisinya memprihatinkan. Rumah itu telah rubuh diporak-porandakan kaki raksasa. Nasib yang sama juga dialami oleh rumah-rumah penduduk seisi desa.
Dibawah cahaya bulan Erang berdiri tegak. Diusapnya sisa air mata yang membasahi wajah tirusnya. Disaksikan oleh bintang-bintang berserakan, Erang mengucapkan sumpah. Kelak, jika Tuhan berkenan menganugerahinya umur panjang, maka ia akan mennggunakan umur tersebut hanya untuk membalas dendam pada raksasa jahat yang telah merenggut nyawa kedua orangtuanya.
Ia bersiap untuk membalas dendam. Pertama-tama, ia akan mencari dulu bagaimana caranya.
Sepuluh Tahun kemudian.
Erang kanak-kanak kini telah dewasa. Hari demi hari dilaluinya dengan dendam membara. Selama sepuluh tahun ia belajar menghidupi dirinya sendiri dengan memburuh didesa-desa tetangga. Kegiatan rutinnya yang lain adalah mengasah senjata badik peninggalan orang tuanya dengan jeruk nipis. Sejenis senjata penikam tradisional suku Bugis Makassar. Bentuknya berupa bilah batu meteor yang telah ditempa menjadi besi pipih dengan ujung yang runcing. Hulu dan warangkanya terbuat dari kayu hitam. Dengan senjata itulah kelak, Erang berniat membalaskan dendamnya pada raksasa.
Bila sore menjelang, Erang ikut bergabung dengan kawan-kawan seumurannya yang rutin berlatih pencak silat di lapangan desa. Latihan ini sengaja digelar para tetua desa agar para pemuda kelak bisa melawan ketika raksasa datang menyerbu desa mereka. Tapi Erang hanya menonton. Hatinya tak pernah tergerak berlatih pencak. Keengganannya itu menjadikan Erang kerap jadi sasaran ejekan teman-temannya. Bangun tubuh kawan-kawan seumurannya semakin hari semakin berisi. Tumbuh besar dan tegap. Sungguh berkebalikan dengan tubuh Erang. Erang tampak seperti bocah kuntet diumurnya yang telah menginjak 17 tahun. Kurus kerempeng. Tulang-tulangnya bertonjolan seolah berebut ingin melarikan diri dari tubuh kerdilnya.
Erang selalu  membalas setiap ejekan ‘kuntet’ dari kawan-kawannya dengan senyuman. Ia menekan setiap rasa kesal yang manusiawi muncul dihatinya. Demi membalaskan dendam kedua orangtuanya, ia tabah berjalan teguh diatas rencana yang disusunnya. Tak ada yang tahu kalau tubuh kuntetnya itu sebenarnya disengaja oleh Erang. Bertahun-tahun ia disiplin berpuasa. Berpantang makan dan menahan lapar, agar tubuhnya tidak tumbuh berkembang.
Diam-diam pula, pada setiap malam purnama hari keempat belas, Erang menyusup kesetiap desa dimana raksasa musuhnya sedang berburu manusia. Dibantu oleh tubuh kuntetnya ia bersembunyi sambil memperhatikan secara seksama gerak gerik si raksasa. Sambil menunggu waktu yang tepat dikemudian hari, Erang memanfaatkannya untuk mempelajari kelemahan musuhnya. Nenek moyangnya pernah mengajari Erang, ‘ Kenali kelemahan musuhmu untuk mengenali kekuatanmu ‘.
Tibalah kemudian malam yang ditunggu-tunggu Erang. Purnama hari keempat belas. Sepuluh tahun sejak kedatangan terakhir raksasa ke desa. Cahanya bulan menyiram tanah. Erang telah mempersiapkan dirinya sejak petang. Belajar dari kebiasaan raksasa sebelum-sebelumnya, maka malam ini adalah giliran desanya disatroni oleh raksasa jahat itu. Pemuda-pemuda desa yang telah dilatih silat sibuk menyiapkan diri. Mereka menggengam berbagai jenis senjata ditangan masaing-masing. Lalu….
Bum ! Bum ! Bum !
Suara berdentum menghantam tanah tempat berpijak. Bumi bergetar laksana gempa. Raksasa mengumunkan kedatangannya dengan geraman yang menakutkan. Dengusan nafasnya menggoyang pepohonan. Rumah-rumah yang dilalui porak-poranda dalam sekali injakan.
Para pemuda desa bersiap. Senjata terhunus. Sementara Erang berdiri menjauh dari mereka. dalam jarak 10 tombak. Mengamati raksasa dan barisan para pemuda yang sudah berdiri berhadap-hadapan.
“ Arrrrrrrrrrrrrrrrrrggghhhhh !!!!! “
Raksasa mengaumkan teriakan memekakkan. Tampaknya ia marah mendapati dirinya mendapat perlawanan dari penduduk desa. Kemudian..
Set…!! set…!!! swiiiiing !!!
Hanya dengan sekali kibas, kedua tangan raksasa itu telah merontokkan para pemuda desa. Tubuh-tubuh melayang bergelimpangan. Erang menyaksikan kenyataan itu dengan hati miris. Ia sudah menduga akan terjadi hal seperti itu. Latihan silat bertahun-tahun hanya membuahkan kesia-siaan belaka. Segesit apapun, sekuat apapun para pemuda desa itu, sama sekali bukan tandingan raksasa.
Tubuh para pemuda desa yang tegap berisi malah semakin membangkitkan selera makan raksasa. Satu persatu mereka ditangkap lalu dikunyah oleh taring raksasa. Teriakan-teriakan manusia diujung ajal bersahut-sahutan. Dan berhenti ketika tak ada lagi manusia hidup yang tersisa.
Raksasa itu mengaum sekali lagi. Wajahnya tampak sangat puas. Dengan langkah malas karena kekenyangan, raksasa memutar badannya hendak berlalu dari desa itu.
Pada saat itu, Erang segera melompat menghadang raksasa.
“ Hai raksasa jelek ! berhenti, karena aku akan membunuhmu ! ‘ teriak Erang.
Raksasa menghentikan langkahnya. Matanya memicing mencoba meneliti dari mana asal suara itu. Rupanya suara itu dari seorang manusia kuntet yang kurus kerempeng tengah bertolak pinggang diujung jempol kakinya.
“ Hahahahahaha…hahahahahahaha…, apa aku tidak salah dengar, manusia kecil !” sahut raksasa. Tubuhnya bergoyang-goyang. “ Minggirlah. Aku sudah kenyang. Tubuh kerempengmu itu hanya akan merusak selera makan ku saja “
Erang tidak bergeming. Sambil tetap bertolak pinggang ia terus berusaha membangkitkan kemarahan raksasa.
“ Hai raksasa jelek. Kenapa kau tak mengakui saja kalau kamu takut kepadaku !? “
“ Kau rupanya memilih ingin menyusul kawan-kawanmu manusia kuntet ! “ raksasa itu menggeram. Erang berhasil memicu kemarahannya. Raksasa bertambah marah karena melihat Erang tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun.
“ Dasar raksasa jelek ! aku tidak takut padamu. Aku bahkan berani bertaruh denganmu. Rahangmu itu sangat kecil dimataku. Mulutmu takkan sanggup menelanku dalam sekali telan “
“ Arrrrrrgggghhh….!!!!!!!! “
Raksasa menggeram. Kemarahannya tak terbendung lagi. Belum pernah seumur hidupnya ia dihina oleh seorang manusia. Terlebih manusia kuntet nan kerempeng seperti Erang. Manusia kuntet itu bahkan berani menghina dengan mengatakan mulutnya tak sanggup menelan tubuh Erang.
Secepat kilat tangan raksasa itu menyambar Erang. Anehnya, Erang justru tidak berusaha untuk menghindar. Dibiarkannya tangan raksasa itu mencengkeramnya. Selanjutnya..
Hap !
Tubuh Erang menggelinding masuk kemulut raksasa. Karena tubuhnya yang kuntet dan jarak geraham kiri dan kanan raksasa yang sangat lebar, Erang berhasil menghindar dari gigi-gigi raksasa yang berusaha mengunyahnya. Dengan cepat Erang menggelindingkan tubuhnya melalui tenggorokan masuk kedalam perut raksasa.
Merasa mangsanya telah tewas, raksasa itu kembali melanjutkan langkahnya. Namun, sepuluh langkah dari situ, tiba-tiba, tubuh raksasa itu roboh bergelimpang menimpa bumi.
Bummmmmm !
Tanah bergoyang keras. Meninggalkan lubang dibawah punggung raksasa. Tubuh raksasa itu kemudian berguling-guling. Mulutnya melolong-lolong….
“ Auuuuugggghhhh… aarrrrrgggh….. huuuuuuurrrgggghhh “ teriaknya meracau menahan sakit.
Sebuah sobekan dari dalam perutnya mengakibatkan tubuhnya berhenti berguling. Raksasa jahat itu telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Terlihat Erang menjulurkan kepalanya dari dalam perut raksasa yang terbelah. Ia kemudian keluar dan melompat turun ketanah dengan tenang. Ditangannya masih tergengam sebilah badik berlumuran darah.
Karena kuasa dewata, ditempat raksasa itu terbaring, tiba-tiba berubah wujud menjadi gunung. Bentuknya seperti tubuh raksasa, lengkap dengan perut besarnya yang menonjol. Penduduk sekitar gunungpun kemudian menamainya dengan sebutan Gunung Lompo Battang, yang artinya perut besar. Lompo = Besar, Battang = Perut (Makassar, Pen).

No comments:

Post a Comment