Mendaki Pegunungan Jayawijaya
Bagi
pendaki gunung, mendaki jajaran pegunungan Jayawijaya dan Sudirman
(Carstensz Pyramide), Irian Jaya, adalah impian. Betapa tidak, pada
salah satu puncak pegunungan itu (Sudirman) terdapat titik tertinggi di
Indonesia. Carstensz Pyramide (4.884 mdpl) menyimpan banyak keunikan dan
tantangan. Bukan hanya karena puncaknya diselimuti salju tropis tetapi
termasuk dalam deretan 7 (tujuh) puncak benua.
Jangan heran bila
pendaki-pendaki papan atas kelas dunia berlomba untuk mendaki puncak
tertinggi di Australasia ini. Tak kurang dari Heinrich Harrer si pendaki
yang hidupnya diperankan Brad Pitt dalam Seven Years In Tibet menjadi
orang pertama yang mendaki Carstensz Pyramid. Kemudian Reinhold Messner
pendaki pertama yang mencapai 14 puncak di atas 8.000 meter.
Pat Morrow yang mencanangkan
Carstensz Pyramid sebagai satu dari tujuh puncak di tujuh benua bumi
ini. Irian itu bagian dari benua Australasia katanya. Ini mengakibat
pendaki-pendaki kelas dunia berbondong-bondong mengikuti jejaknya di
antaranya pendaki wanita pertama Everest Junko Tabei pernah menjamah
puncak ini.
Sayang,
prosedur izin yang harus dimiliki membuat banyak pendaki harus
mengurungkan niatnya untuk berekspedisi. Apalagi wilayah pegunungan
tengah Irian Jaya sempat tertutup untuk pendakian sejak kasus penculikan
di Mapenduma 1995 – 1996.
Izin Mendaki yang Rumit
Di
kalangan pendaki gunung di Indonesia ada satir tentang pendakian gunung
di Irian Jaya. ”Lebih sulit mengurus izinnya daripada mendaki
gunungnya,” keluh mereka. Izin pendakian gunung-utamanya ke Carstensz
Pyramide – di Irian Jaya memang rumit dan tidak jelas. Tidak ada
selembar surat izin yang sah seperti misalnya pendakian di Nepal di mana
pendaki diberikan semacam paspor selembar lengkap dengan foto dan
keterangan izin mendaki puncak ketinggian berapa di daerah mana.
Di Nepal ketika berhasil dan
bisa menyerahkan bukti pun Departemen Pariwisata yang menangani izin ini
mengeluarkan surat keterangan kesuksesan pendaki. Ketidakjelasan
ini-hal yang biasa terjadi selama Orde Baru-selama bertahun-tahun
bertahan dengan alasan klasik, keamanan.
Galih
Donikara, seorang senior Wanadri menyebutkan untuk mendaki gunung ini
harus memiliki rekomendasi dari kantor Menpora, Kapolri, BIA-intelejen
Indonesia, Menhutbun/PKA, PT Freeport Indonesia (PTFI).
Kalau
mau lewat Tembagapura ditambah dari Federasi Panjat Tebing Indonesia
(FPTI). Itu semua harus diurus di Jakarta. Lalu di Jayapura, rekomendasi
dari Bakorstranasda dan Kapolda harus dikantongi. Di Timika,
rekomendasi EPO dan izin PTFI untuk fasilitas lintasan.
”Terakhir di Tembagapura,
koordinasi dengan Emergency Response Group (ERG) untuk penanganan
Emergency Procedur dan aparat Satgaspam untuk masalah keamanan
lintasan,” jelas pendaki gunung yang sempat tergabung dalam ekspedisi
Indonesia-Everest ’97 ini. Galih mencapai puncak Carstensz Pyramid
bersama tim Cina pada awal tahun Millenium ini. Bersama beberapa pendaki
sipil dan militer, mereka menggunakan rute Timika lewat Tembagapura
untuk mencapai kemah induk.
Jika
lewat Nabire, surat dari Bakorstranasda dan Polda Irian Jaya harus
dilaporkan ke Polres Paniai dan Kodim Nabire, yang keduanya ada di kota
Nabire. Lalu terakhir di Ilaga, semua surat rekomendasi diberikan ke
Tripika setempat (Ilaga) yaitu Polsek, Koramil dan Camat.
Tapi tunggu dulu, ketiga
pimpinan tersebut akan memutuskan bisa atau tidaknya pendaki meneruskan
ekspedisi. Semuanya tergantung dengan situasi keamanan pada saat itu.
Bila sedang tidak ada bahaya yang dapat mengancam keselamatan pendaki
seperti perang suku, maka pendaki boleh segera mulai. Nah itulah daftar
panjang surat rekomendasi untuk mendaki atap Indonesia itu. Rumit dan
repot.
Bambang
Hertadi Mas, petualang dan pesepeda jarak jauh kawakan, sempat
mengurungkan niatnya untuk berekspedisi ke puncak Carstensz Pyramide,
gara-gara sulitnya mengurus izin pendakian itu. Paimo, panggilan akrab
Bambang, lebih memilih memanjat Gunung Kilimanjaro, di benua Afrika
untuk ekspedisi tahun 1987. ”Mending sekalian ke luar (negeri), toh
ongkos dan susahnya proses perizinan relatif tidak jauh berbeda,” begitu
komentar Paimo waktu itu.
Sebagian
besar pemandu gunung, pendaki profesional sampai kelas amatiran, harus
menelan kekecewaan. Padahal menurut mereka, banyak sekali turis-turis
mancanegara yang ingin menggapai salju putih di kawasan tropis.
Kegamangan masalah politik bumi Cendrawasih ini juga mengganggu upaya
untuk menjadikan Carstensz Pyramid dan pegunungan Sudirman sebagai
tujuan wisata yang bisa jadi andalan Papua. Bagi sebagian orang,
Carstensz merupakan sumber rezeki tersendiri dan punya nilai jual yang
tinggi.
Kelangkaan informasi tentang
kedua pegunungan itu juga menjadikan minat terhadap pendakian gunung di
Irian Jaya-utamanya Carstensz Pyramide-harus surut di tengah jalan.
Kecuali, bagi para pendaki yang cukup dana dan pengalaman. Tak banyak
buku-buku ”keluaran” negeri sendiri yang benar-benar menceritakan
nikmatnya bertualang menggapai atap Indonesia itu. Paling-paling
hanyalah beberapa bentuk tulisan hasil ekspedisi ke sana. Akhirnya,
pendaki-pendaki lokal harus pontang-panting mencari informasi ke
beberapa perkumpulan pencinta alam ternama dan berpengalaman di negeri
ini. Tapi itu mungkin tidak seberapa rumit jika dibandingkan dengan
mengurus perizinannya. Sampai kapan?
No comments:
Post a Comment